Bab Tentang Najis
Pembahasan Pertama: Pembagian Najis
Bahwa najis
terbagi menjadi 2 yaitu:
1)
Najis ‘Ainiah adalah najis pada zat atau benda itu sendiri.
2)
Najis Hukmiyah adalah dia dianggap najis dari sisi hukum.
Perbedaan antara Najis ‘Ainiah dan
Najis Hukmiyah adalah:
Najis ‘Ainiah adalah najis yang tidak
dapat disucikan. Contohnya adalah kotoran manusia. Sedangkan Najis
Hukmiyah, contohnya adalah kulit tangan
kita yang terkena
kotoran hewan di mana kulit tangan kita tersebut dapat disucikan dari kotoran
tersebut.
Dari nash-nash
yang ada, para fuqaha membagi najis hukmiyah menjadi 3 yaitu:
1)
Najis Muballagho (najis yang tebal)
2)
Najis Mutawassitho (najis yang pertengahan)
3)
Najis Mukhoffafah (najis yang ringan)
Pembahasan Kedua Kaidah Penentuan Najis
Kaidah dalam penentuan najis yaitu
“Asal segala sesuatu adalah suci, kecuali ada dalil shahih yang
mengeluarkannya (atau menetapkan bahwa itu adalah
najis)”.
Catatan: Apakah setiap dalil yang mengatakan najis, langsung
kita katakana najis? Tidak, sepanjang tidak bertentangan denan dalil yang
semisal dengannya atau yang lebih kuat darinya. Sebab jika ada dalil yang
semisal dengannya kemudian bertentangan, maka itu mungkin harus dikompromikan
atau ditarjih.
Pembahasan Keiga: Beberapa Bentuk Najis
1)
Kotoran manusia
2)
Air kencing manusia
3)
Air kencing bayi laki-laki
4)
Jilatan anjing
5)
Kotoran hewan (ar-Rauts) yaitu kuda dan al-bighal
6)
Kotoran Anjing (menurut pendapat
terkuat)
7)
Darah haidh
8)
Daging Babi
Catatan: Cari masing-masing dalil
bentuk najis di atas!
Pembahasan Keempat: Air Seni Bayi Laki-laki
Pembahasan Kelima: Jilatan atau Air Liur Anjing
Cara
mensucikannya yaitu:
1) Dicuci 7
kali dan salah satu darinya mengguakan tanah.
2) Dalam menentukan
cucian keberapa dengan menggunakan tanah, terdapat silang pendapat dikalangan
para ulama.
3) Hadits
Abdullah bin Mughoffaf yaitu cucian yang ke 8.
4) Sepanjang kedua hadits tersebut shahih, maka tidak apa-apa
kita buka bentuk tanawwu’. Jadi, siapa yang ingin mencuci 7 kali, dimana salah
satu dari 7 kali tersebut dia cuci dengan tanah boleh.
5) Sedangkan siapa yang ingin dia mencuci 7 kali yang ke-8
(delapan) nya menggunakan tanah, maka itu juga boleh. Tetapi jika dia mencuci
yang kedelapan dengan menggunakan tanah, maka tentunya dia
membutuhkan tambahan cucian untuk membersikan tanahnya, bukan najisnya sebab
najisnya sudah hilang dengan cucian yang kedelapan.
Bab mensucikan najis
Pembahasan Pertama: Cara Mensucikan Najis
“Asal
mensucikan najis adalah dengan cara mencucinya”. Adapun sendal cara
mensucikannya adalah dengan mengosokkannya ke tanah sebanyak 3 kali. Adapun
jika dipanaskan dengan matahari itu tidak kuat dari sisi pendalilan.
Pembahasan Kedua: Tentang Istihalah
Adalah terjadi
perubahan zat asalnya dia najis tetapi karena proses berubah zatnya menjadi
suci. Contohnya:
1)
Kotoran dibakar berubah menjadi debuh.
2)
Air kotor berubah menjadi air jernih dengan proses tertentu.
Terdapat
perbedaan pendapat dikalangan para ulama tentang sucinya istialah. Imam Asy-Syaukani rahimahullah berpendapat
tentang sucinya hal tersebut, alasannya adalah karena tidak adanya sifat hukum
yang dihukumi padanya. Jadi, ketika dia kotor maka dia najis, tetapi ketika berubah menjadi debuh atau air jernih seperti contoh di atas, maka tidak dikategorikan najis lagi.
Catatan: suatu benda dikatakan najis karena ada
najis padanya dan ketika najis tersebut hilang maka bukan najis lagi. Jadi, ketika dikatakan najis, mana najisnya?
Dari Anas bin
Malik radiyallahu ‘anhu, ia berkata (yang pendekatan
maknanya): Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang khamar yang dijadikan cuka, Nabi shallallau
‘alahi wasallam menjawab. Tidak boleh.
Catatan: Khamar
ketika dikhususkan untuk dijadikan cuka maka hukumnya haram. Sedangkan ketika
tidak di khususkan dan atau dimaksudkan maka hukumnya boleh. Misalnya ada
seseorang yang menemukan khamar sudah menjadi cuka secara alamiah tanpa dia
maksudkan maka hukumnya boleh sebab dia bukan lagi khamar tetapi cuka. Tedapat silang
pendapat dikalangan para ulama tentang khamar, apakah dia najis atau bukan.
Imam Asy-Syaukani rahimahullah berpendapat bahwa khamar tidak termasuk
najis dan ini insyaAllah adalah pendapat terkuat.
Pembahasan Ketiga: Pensucian Terhadap Sesuatu Yang Tidak
mungkin Dicuci
1. Dengan cara
dituangkan padanya air
Contohnya,
seseorang yang buang air kecil di tanah, tidak mungkin tanahnya
dicuci dengan sabun. Maka cara mencucinya adalah dengan cara menungkan padanya
air. Dalilnya adalah kisah orang arab badui
yang kencing di
tanah.
2. Dengan Cara
Dikuras Airnya
Misalnya,sumur
yang kejatuhan bangkai maka air sumur tersebut berubah menjadi najis. Maka cara
mensucikannya yaitu menguras air sumur tersebut sampai muncul air yang baru atau
kembali kesifat asalnya sebelum kemasukan bangkai (sampai tidak ada bekas
bangkai pada sumur tersebut).
Kaidah: Bangkai asalnya adalah najis, kecuali bangkai manusia, belalang, ikan, dan
hewan yang tidak mempunyai darah mengalir (nyamuk, lalat, dsb).
Kesimpulannya: Pensucian terhadap sesuatu yang tidak
mungkin dicuci yaitu dengan cara:
1)
Dituangkan padanya air
2)
Dengan cara menguras airnya.
Pembahasan Keempat: Pembersihan Najis Dengan Menggunakan
Benda Cair Selain Air
Imam Asy-Syaukani rahimahullah
menekankan bahwa “air adalah asal benda yang dipakai untuk mensucikan”.
Jadi, jika ingin mensucikan asalnya dengan menggunakan air.
Selain dari pada itu, tidak
ada yang bisa menduduki
kedudukannya kecuali dengan izin dari syariat. Seperti menggunakan tanah itu ada
dalilnya, tetapi jika misalnya ada benda cair selain dari pada air,
apakah boleh memakainya? Apakah dianggap mensucikannya?
Contohnya ada seseorang
yang terkena najis, dia cari air tetapi tidak menemukannya, dia lihat kelapa
kemudian dia cuci tangannya dengan menggunakan air kelapa dan hilang najisnya
dan tidak bau lagi tangannya, sahkah dia mencuci ini? Terdapat silang pendapat dikalangan
para ulama. Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah dan ini adalah mazhab
hanafilah bahwa boleh mencucinya dan dikuatkan pula oleh syaikhul islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah bahwa boleh mencuci atau membersihkan dengan
menggunakan benda cair selain dari pada air. (Catatan:
ini bukan
mengenai bab berthaharah, tetapi bab tentang menghindari najis
dan di dalam hal seperti ini boleh dilakukan).
Ada dalil-dalil yang lainnya yang disebut oleh mereka yang
mengatakan suci di dalam pembahasan pemebersihan najis dengan menggunakan benda
cair selain daripada air. Yang jelas pendapat tersebut insyaAllah adalah
pendapat yang kuat, namun bersamaan dengan itu tetap kita tekankan sebagaimana
yang dikemukakan imam Asy-Syaukani rahimahullah bahwa “air adalah asal benda yang dipakai untuk
mensucikan”. kalaupun dia menggunakan benda cair
yang lain dan dia bisa menghilangkan semua najis dan pengaruhnya, maka
insyaAllah itu adalah sah. Tetapi jika dia menggunakan air, maka asalnya itulah
yang dia gunakan.
Catatan: Dalam
pembahasan ilmiah, apabila ada hal-hal dia bisa mengambil jalan hati-hati di
sana maka hendaknya dia mengambil jalan hati-hati tersebut walaupun dia disisi
pembahasan dia menguatkan yang lainnya. Misalnya kita menguatkan boleh
menghadap/membelakangi kiblat ditempat tertutup ketika membuang hajad.
Bersamaan dengan itu, apabila kita berpendapat boleh, maka sebaiknya ditinggalkan
agar keluar dari silang pendapat karena itu lebih selamat.
Bab Membuang Hajat
Pembahasan Pertama: Beberapa Etika Ketika Membuang Hajat
a) Terhadap
orang yang membuang hajatnya (mencakup hajad besar maupun kecil) dia wajib untuk
menutup auratnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
melewati dua kuburan, maka beliau mengabarkan:
“Dua penghuni kuburan ini sedang
diazab. Tidaklah mereka diazab karena perkara yang besar. Kemudian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam mengatakan: bahkan ya. Adapun salah satunya, ia diazab
karena tidak istitar dari kencingnya....” (Shahih, hadits Ibnu Abas riwayat Al-Bukhari no. 216 dan Muslim no.292).
Arti dari
istitar dari kencingnya mempunyai dua makna yang disebutkan oleh para ulama yaitu:
1). Jika dia
kencing, tidak menjaga percikan-percikannya, jangan sampai mengenai diri dan atau pakaiannya. 2). Dia tidak menutup aurat atau tidak
berlindung ketika buang hajat.
b) Tidak mengangkat pakaiannya sampai ia mendekat ke tanah,
walaupun haditsnya lemah tapi benar dari sisi makna. Di mana diantara etika
seorang yang ingin membuang hajatnya yaitu menjauh. Sebab ini lebih menjaga
auratnya.
c) Menjauh
ketika membuang hajat.
d) Masuk ke
tempat khusus (kanif)ketika membuang hajat.
e) Tidak berbicara
ketika membuang hajat. (Haditsnya ada kelemahan). Berbicara
bukan hal yang
diharamkan dan seseorang boleh berbicara ketika ada keperluan, kecuali saling bercakap-cakap maka ini tidak boleh.
f) Meninggalkan
memakai sesuatu yang diagungkan dalam islam.
g) Meninggalkan
semua tempat yang syariat atau kebiasaan melarang untuk membuang hajat di
tempat tersebut.
Pembahasan Kedua: Tempat-tempat yang Terlarang untuk
Membuang Hajat
1. Orang yang
membuang hajatnya di jalanan manusia.
2. Membuang
hajat di teduhan manusia.
3. Tempat
mengalirnya air.
4. Tempat
berkumpulnya air.
5. Di bawah
pohon yang berbuah.
6. Di pinggir
sungai yang mengalir.
7. Lubang
tempat binatang buas menggali.
8. Membuang air
kecil di tempat dia mandi kemudian dia berwudhu.
Para ulama berpendapat
tidak boleh, jika tempat mandinya tidak mempunyai jalur mengalir.
9. Masjid,
dilarang buang hajat dan angin kecuali tidak bisa ditahan lagi.
10. Kaedah
umumnya “semua tempat yang secara umum itu bisa menganggu manusia jika kita
membuang hajat di tempat tersebut”.
Catatan:
Nomor 1 dan 2
adalah sifat yang terlaknat.
Nomor 3-6
haditsnya lemah, tetapi masuk dalam kaidah umum (lihat no 10).
“Berhati-hatilah kalian dari dua hal
yang terlaknat (oleh manusia)”. Para sahabat bertanya: “Apakah yang dimaksud
dengan dua orang yang dilaknat?”. Beliau menjawab: “Orang yang membuang hajat
di jalan yang biasa dilalui manusia atau ditempat yang biasa mereka bernaung”.
(Shahih, Hadits riwayat Muslim no. 269).
Pembahasan Ketiga: Membuang Hajat dengan Menghadap atau Membelakangi
Kiblat
“Tidak boleh
menghadap atau membelakangi kiblat”. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat
mengenai hal tersebut:
a. Apakah
berlaku secara umum
b. Apakah
larangan pada sebagian keadaan
c. Apakah
larangan ini bermakna makruh
Banyak pendapat dalam hal ini, tetapi
yang benarnya yaitu “Di tempat terbuka tidak boleh menghadap dan membelakangi
kiblat, sedangkan di tempat tertutup boleh tetapi hendaknya menghindari hal
tersebut supaya keluar dari silang pendapat dan ini adalah tahrij dari Syaikh Abu Muhsin Al-Abbad rahimahullah”
Pembahasan Keempat: Tentang Istijmar
Imam Asy-Syaukani rahimahullah berpendapat
bahwa "Dan wajib atas setiap orang yang membuang hajat untuk
melakukan istijmar dengan tiga batu yang suci atau apa yang menduduki
kedudukannya". Disini Imam Asy-Syaukani rahimahullah tidak menyebutkan dengan menggunakan
air karena sebelumnya beliau sudah terangkan bahwa air itu adalah asal dalam
mensucikan, beliau disini menyebutkan tambahan hukum yang lain yaitu bolehnya
seseorang melakukan istijmar. Istijmar adalah bersuci dengan menggunakann jimar
(batu-batu kecil). Jadi bersuci itu bisa menggunakan 2 cara yaitu:
1) Dengan
menggunakan air.
2) Dengan
menggunakan tiga buah batu yang suci.
Menggunakan batu
tidak sama dengan bertayammum, dimana tayammum nanti bisa dilaksanakan jika
tidak ada air tetapi ber-istijmar kapan saja boleh.
Istijmar
menggunakan batu itu disyariatkan oleh para ulama diantaranya yaitu:
1. Apabila
najis yang keluar dari jalurnya itu tidak melebihi batas sewajarnya.
2. Menggunakan
batu yang suci.
3. Menggunakan
batu yang suci yang bisa mensucikan (bisa membersihkan, menyerap air dan
kotoran).
4. Boleh
menggunakan apa yang kedudukannya seperti batu, contonya kayu kering dan tissu.
Para ulama sepakat bolehnya menggunakan selain batu untuk istjmar.
5. Tidak boleh
menggunakan benda-benda yang dilarang bersuci dengannya, contohnya tulang,
kotoran, makanan, menggunakan sesuatu yang dihormati.
6. Menggunakan
tiga batu, begitu pula dengan selain batu.
Bersambung...
0 komentar:
Posting Komentar