Kamis, 02 April 2015

1. KITAB THAHARAH (Bersuci) - Part 2



Bab Tentang Najis

Pembahasan Pertama: Pembagian Najis
Bahwa najis terbagi menjadi 2 yaitu:

1)    Najis ‘Ainiah adalah najis pada zat atau benda itu sendiri.
2)    Najis Hukmiyah adalah dia dianggap najis dari sisi hukum.

Perbedaan antara Najis ‘Ainiah dan Najis Hukmiyah adalah:
Najis ‘Ainiah adalah najis yang tidak dapat disucikan. Contohnya adalah kotoran manusia. Sedangkan Najis Hukmiyah, contohnya adalah kulit tangan kita yang terkena kotoran hewan di mana kulit tangan kita tersebut dapat disucikan dari kotoran tersebut.


Dari nash-nash yang ada, para fuqaha membagi najis hukmiyah menjadi 3 yaitu:
1)    Najis Muballagho (najis yang tebal)
2)    Najis Mutawassitho (najis yang pertengahan)
3)    Najis Mukhoffafah (najis yang ringan)

Pembahasan Kedua Kaidah Penentuan Najis
Kaidah dalam penentuan najis yaitu “Asal segala sesuatu adalah suci, kecuali ada dalil shahih yang mengeluarkannya (atau menetapkan bahwa itu adalah najis)”.

Catatan: Apakah setiap dalil yang mengatakan najis, langsung kita katakana najis? Tidak, sepanjang tidak bertentangan denan dalil yang semisal dengannya atau yang lebih kuat darinya. Sebab jika ada dalil yang semisal dengannya kemudian bertentangan, maka itu mungkin harus dikompromikan atau ditarjih.

Pembahasan Keiga: Beberapa Bentuk Najis
1)    Kotoran manusia
2)    Air kencing manusia
3)    Air kencing bayi laki-laki
4)    Jilatan anjing
5)    Kotoran hewan (ar-Rauts) yaitu kuda dan al-bighal
6)    Kotoran Anjing (menurut pendapat terkuat)
7)    Darah haidh
8)    Daging Babi
Catatan: Cari masing-masing dalil bentuk najis di atas!

Pembahasan Keempat: Air Seni Bayi Laki-laki














Pembahasan Kelima: Jilatan atau Air Liur Anjing
Cara mensucikannya yaitu:
1) Dicuci 7 kali dan salah satu darinya mengguakan tanah.
2) Dalam menentukan cucian keberapa dengan menggunakan tanah, terdapat silang pendapat dikalangan para ulama.
3) Hadits Abdullah bin Mughoffaf yaitu cucian yang ke 8.
4) Sepanjang kedua hadits tersebut shahih, maka tidak apa-apa kita buka bentuk tanawwu’. Jadi, siapa yang ingin mencuci 7 kali, dimana salah satu dari 7 kali tersebut dia cuci dengan tanah boleh.
5) Sedangkan siapa yang ingin dia mencuci 7 kali yang ke-8 (delapan) nya menggunakan tanah, maka itu juga boleh. Tetapi jika dia mencuci yang kedelapan dengan  menggunakan  tanah, maka tentunya dia membutuhkan tambahan cucian untuk membersikan tanahnya, bukan najisnya sebab najisnya sudah hilang dengan cucian yang kedelapan.

Bab mensucikan najis

Pembahasan Pertama: Cara Mensucikan Najis
Asal mensucikan najis adalah dengan cara mencucinya”. Adapun sendal cara mensucikannya adalah dengan mengosokkannya ke tanah sebanyak 3 kali. Adapun jika dipanaskan dengan matahari itu tidak kuat dari sisi pendalilan.

Pembahasan Kedua: Tentang Istihalah
Adalah terjadi perubahan zat asalnya dia najis tetapi karena proses berubah zatnya menjadi suci. Contohnya:  
1)    Kotoran dibakar berubah menjadi debuh.
2)    Air kotor berubah menjadi air jernih dengan proses tertentu.

Terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama tentang sucinya istialah. Imam Asy-Syaukani rahimahullah berpendapat tentang sucinya hal tersebut, alasannya adalah karena tidak adanya sifat hukum yang dihukumi padanya. Jadi, ketika dia kotor maka dia najis, tetapi ketika berubah menjadi debuh atau air jernih seperti contoh di atas, maka tidak dikategorikan najis lagi.

Catatan: suatu benda dikatakan najis karena ada najis padanya dan ketika najis tersebut hilang maka bukan najis lagi. Jadi, ketika dikatakan najis, mana najisnya?
Dari Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu, ia berkata (yang pendekatan maknanya): Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang khamar yang dijadikan cuka, Nabi shallallau ‘alahi wasallam menjawab. Tidak boleh.

Catatan: Khamar ketika dikhususkan untuk dijadikan cuka maka hukumnya haram. Sedangkan ketika tidak di khususkan dan atau dimaksudkan maka hukumnya boleh. Misalnya ada seseorang yang menemukan khamar sudah menjadi cuka secara alamiah tanpa dia maksudkan maka hukumnya boleh sebab dia bukan lagi khamar tetapi cuka. Tedapat silang pendapat dikalangan para ulama tentang khamar, apakah dia najis atau bukan. Imam Asy-Syaukani rahimahullah berpendapat bahwa khamar tidak termasuk najis dan ini insyaAllah adalah pendapat terkuat.

Pembahasan Ketiga: Pensucian Terhadap Sesuatu Yang Tidak mungkin Dicuci
1. Dengan cara dituangkan padanya air
Contohnya, seseorang yang buang air kecil di tanah, tidak mungkin tanahnya dicuci dengan sabun. Maka cara mencucinya adalah dengan cara menungkan padanya air. Dalilnya adalah kisah orang arab badui yang kencing di tanah.
2. Dengan Cara Dikuras Airnya
Misalnya,sumur yang kejatuhan bangkai maka air sumur tersebut berubah menjadi najis. Maka cara mensucikannya yaitu menguras air sumur tersebut sampai muncul air yang baru atau kembali kesifat asalnya sebelum kemasukan bangkai (sampai tidak ada bekas bangkai pada sumur tersebut).
Kaidah: Bangkai asalnya adalah najis, kecuali bangkai manusia, belalang, ikan, dan hewan yang tidak mempunyai darah mengalir (nyamuk, lalat, dsb).
Kesimpulannya: Pensucian terhadap sesuatu yang tidak mungkin dicuci yaitu dengan cara:
1)    Dituangkan padanya air
2)    Dengan cara menguras airnya.
Pembahasan Keempat: Pembersihan Najis Dengan Menggunakan Benda Cair Selain Air
Imam Asy-Syaukani rahimahullah menekankan bahwa “air adalah asal benda yang dipakai untuk mensucikan”. Jadi, jika ingin mensucikan asalnya dengan menggunakan air. Selain dari pada itu, tidak ada yang bisa menduduki kedudukannya kecuali dengan izin dari syariat. Seperti menggunakan tanah itu ada dalilnya, tetapi  jika misalnya ada benda cair selain dari pada air, apakah boleh memakainya? Apakah dianggap mensucikannya? 

Contohnya ada seseorang yang terkena najis, dia cari air tetapi tidak menemukannya, dia lihat kelapa kemudian dia cuci tangannya dengan menggunakan air kelapa dan hilang najisnya dan tidak bau lagi tangannya, sahkah dia mencuci ini? Terdapat silang pendapat dikalangan para ulama. Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah dan ini adalah mazhab hanafilah bahwa boleh mencucinya dan dikuatkan pula oleh syaikhul islam Ibnu Taimiyah rahimahullah bahwa boleh mencuci atau membersihkan dengan menggunakan benda cair selain dari pada air. (Catatan: ini bukan mengenai bab berthaharah, tetapi bab tentang menghindari najis dan di dalam hal seperti ini boleh dilakukan).
Ada dalil-dalil yang lainnya yang disebut oleh mereka yang mengatakan suci di dalam pembahasan pemebersihan najis dengan menggunakan benda cair selain daripada air. Yang jelas pendapat tersebut insyaAllah adalah pendapat yang kuat, namun bersamaan dengan itu tetap kita tekankan sebagaimana yang dikemukakan imam Asy-Syaukani rahimahullah bahwa “air adalah asal benda yang dipakai untuk mensucikan”. kalaupun dia menggunakan benda cair yang lain dan dia bisa menghilangkan semua najis dan pengaruhnya, maka insyaAllah itu adalah sah. Tetapi jika dia menggunakan air, maka asalnya itulah yang dia gunakan.
Catatan: Dalam pembahasan ilmiah, apabila ada hal-hal dia bisa mengambil jalan hati-hati di sana maka hendaknya dia mengambil jalan hati-hati tersebut walaupun dia disisi pembahasan dia menguatkan yang lainnya. Misalnya kita menguatkan boleh menghadap/membelakangi kiblat ditempat tertutup ketika membuang hajad. Bersamaan dengan itu, apabila kita berpendapat boleh, maka sebaiknya ditinggalkan agar keluar dari silang pendapat karena itu lebih selamat.

Bab Membuang Hajat
Pembahasan Pertama: Beberapa Etika Ketika Membuang Hajat
a) Terhadap orang yang membuang hajatnya (mencakup hajad besar maupun kecil) dia wajib untuk menutup auratnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melewati dua kuburan, maka beliau mengabarkan:
“Dua penghuni kuburan ini sedang diazab. Tidaklah mereka diazab karena perkara yang besar. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan: bahkan ya. Adapun salah satunya, ia diazab karena tidak istitar dari kencingnya....” (Shahih, hadits Ibnu Abas riwayat Al-Bukhari no. 216 dan Muslim no.292).
Arti dari istitar dari kencingnya mempunyai dua makna yang disebutkan oleh para ulama yaitu:
1). Jika dia kencing, tidak menjaga percikan-percikannya, jangan sampai mengenai diri dan atau pakaiannya. 2). Dia tidak menutup aurat atau tidak berlindung ketika buang hajat.
b) Tidak mengangkat pakaiannya sampai ia mendekat ke tanah, walaupun haditsnya lemah tapi benar dari sisi makna. Di mana diantara etika seorang yang ingin membuang hajatnya yaitu menjauh. Sebab ini lebih menjaga auratnya.
c) Menjauh ketika membuang hajat.
d) Masuk ke tempat khusus (kanif)ketika membuang hajat.
e) Tidak berbicara ketika membuang hajat. (Haditsnya ada kelemahan). Berbicara bukan hal yang diharamkan dan seseorang boleh berbicara ketika ada keperluan, kecuali saling bercakap-cakap maka ini tidak boleh.
f) Meninggalkan memakai sesuatu yang diagungkan dalam islam.
g) Meninggalkan semua tempat yang syariat atau kebiasaan melarang untuk membuang hajat di tempat tersebut.
Pembahasan Kedua: Tempat-tempat yang Terlarang untuk Membuang Hajat
1. Orang yang membuang hajatnya di jalanan manusia.
2. Membuang hajat di teduhan manusia.
3. Tempat mengalirnya air.
4. Tempat berkumpulnya air.
5. Di bawah pohon yang berbuah.
6. Di pinggir sungai yang mengalir.
7. Lubang tempat binatang buas menggali.
8. Membuang air kecil di tempat dia mandi kemudian dia berwudhu.
Para ulama berpendapat tidak boleh, jika tempat mandinya tidak mempunyai jalur mengalir.
9. Masjid, dilarang buang hajat dan angin kecuali tidak bisa ditahan lagi.
10. Kaedah umumnya “semua tempat yang secara umum itu bisa menganggu manusia jika kita membuang hajat di tempat tersebut”.

Catatan:
Nomor 1 dan 2 adalah sifat yang terlaknat.
Nomor 3-6 haditsnya lemah, tetapi masuk dalam kaidah umum (lihat no 10).
“Berhati-hatilah kalian dari dua hal yang terlaknat (oleh manusia)”. Para sahabat bertanya: “Apakah yang dimaksud dengan dua orang yang dilaknat?”. Beliau menjawab: “Orang yang membuang hajat di jalan yang biasa dilalui manusia atau ditempat yang biasa mereka bernaung”. (Shahih, Hadits riwayat Muslim no. 269).
Pembahasan Ketiga: Membuang Hajat dengan Menghadap atau Membelakangi Kiblat
“Tidak boleh menghadap atau membelakangi kiblat”. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat mengenai hal tersebut:
a. Apakah berlaku secara umum
b. Apakah larangan pada sebagian keadaan
c. Apakah larangan ini bermakna makruh
Banyak pendapat dalam hal ini, tetapi yang benarnya yaitu “Di tempat terbuka tidak boleh menghadap dan membelakangi kiblat, sedangkan di tempat tertutup boleh tetapi hendaknya menghindari hal tersebut supaya keluar dari silang pendapat dan ini adalah tahrij dari Syaikh Abu Muhsin Al-Abbad rahimahullah

Pembahasan Keempat: Tentang Istijmar
Imam Asy-Syaukani rahimahullah berpendapat bahwa "Dan wajib atas setiap orang yang membuang hajat untuk melakukan istijmar dengan tiga batu yang suci atau apa yang menduduki kedudukannya". Disini Imam Asy-Syaukani rahimahullah tidak menyebutkan dengan menggunakan air karena sebelumnya beliau sudah terangkan bahwa air itu adalah asal dalam mensucikan, beliau disini menyebutkan tambahan hukum yang lain yaitu bolehnya seseorang melakukan istijmar. Istijmar adalah bersuci dengan menggunakann jimar (batu-batu kecil). Jadi bersuci itu bisa menggunakan 2 cara yaitu:
1) Dengan menggunakan air.
2) Dengan menggunakan tiga buah batu yang suci.
Menggunakan batu tidak sama dengan bertayammum, dimana tayammum nanti bisa dilaksanakan jika tidak ada air tetapi ber-istijmar kapan saja boleh.
Istijmar menggunakan batu itu disyariatkan oleh para ulama diantaranya yaitu:
1. Apabila najis yang keluar dari jalurnya itu tidak melebihi batas sewajarnya.
2. Menggunakan batu yang suci.
3. Menggunakan batu yang suci yang bisa mensucikan (bisa membersihkan, menyerap air dan kotoran).
4. Boleh menggunakan apa yang kedudukannya seperti batu, contonya kayu kering dan tissu. Para ulama sepakat bolehnya menggunakan selain batu untuk istjmar.
5. Tidak boleh menggunakan benda-benda yang dilarang bersuci dengannya, contohnya tulang, kotoran, makanan, menggunakan sesuatu yang dihormati.
6. Menggunakan tiga batu, begitu pula dengan selain batu.

Bersambung...

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants For Single Moms