Senin, 04 Juni 2012

ANJURAN PARA ULAMA UNTUK MENGIKUTI AS-SUNNAH DAN MENINGGALKAN PENDAPAT MEREKA YANG MENYELISIHINYA

Oleh: Abu Abdillah
Jelas sangat berguna bila pada kesempatan ini, saya uraikan di sini semua atau sebagian pendapat mereka, mudah-mudahan menjadi nasihat dan peringatan bagi orang-orang yang taklid kepada mereka ahkan taklid buta kepada orang-orang yang lebih rendah kedudukannya dari mereka serta berpegang teguh dengan mazhab atau pendapat mereka seolah-olah ucapan mereka adalah wahyu dari langit. Padahal Allah Azza wa jalla berfirman (yang artinya): 

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-nya, amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran dari padanya”. (Surah Al-A’raf:3) 

1. ABU HANIFAH rahimahullah
Yang pertama adalah sahabat Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit rahimahullah. Para (ulama) sahabat atau pengikut beliau telah meriwayatkan berbagai pendapat dan ungkapan yang semuanya menegaskan suatu hal, yaitu wajibnya berpedoman/beramal dengan hadits dan meninggalkan sikap taklid kepada pendapat-pendapat imam yang berbeda dengan hadits (shahih) tersebut.

Beliau Menyatakan (yang artinya):
a. “Jika hadits itu shahih, maka itulah mazhabku”

b. “ Tidak halal bagi siapapun megambil pendapat kami selama dia tidak megetahui dari mana kami megambilya”

Dalam riwayat lain:
“Haram atas siapapun yang tidak mengetahui dalilku untuk berfatwa dengan pendapatku”

Ada tambahan lain dalam riwayat lain:
“Maka sesungguhya kami adalah manusia, hari ini kami menyatakan satu pendapat, mungkin besok kami akan rujuk dari pendapat itu”

Dalam riwayat lain:
“Celaka engkau wahai Ya’qub (yakni Abu Yusuf) jangan kau tulis semua yang engaku dengar dariku, karena sesungguhya aku megeluarkan satu pendapat pada hari ini, dan besok saya tinggalkan, atau besok berpendapat lain, lalu lusanya saya tinggalkan”          

Beliau mengatakan:
“Jika aku mengatakan satu pendapat yang menyelisihi kitab Allah Ta’ala dan Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,maka tinggalkanlah pendapatku”.

2. Malik Bin Anas rahimahullah
a. Adapun  imam Malik bin Anas rahimahullah mengatakan (yang artinya):
“saya hanyalah seorang manusia biasa, bisa salah dan bisa benar.karena itu lihatlah  pendapaku, maka semua yang sesuai dengan Al-kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah, ambillah. Dan semua yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, tinggalkanlah!”

b. Kata beliau (yang artinya):
“Tidak ada satupun setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, melainkan boleh diambil ucapannya dan boleh ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallau ‘alaihi wasallam”

c. Ibnu Wahb berkata:
“saya mendengar Malik ditanya tentang menyela-nyela jari kaki ketika berwudhu’?” Beliau berkata: “itu bukan kewajiban manusia.” Katanya: “Lalu sayapun meninggalkannya sampai kaum muslimin merasa ringan, lalu saya katakan padanya: “Dalam masalah ini kami mempunyai satu (riwayat) sunnah.” Kata beliau: “Apa itu?” saya katakan: “Al-Laits bin Sa’d dan Ibnu Lahi’ah serta ‘Amr bin Al Harits telah bercerita kepada kami, dari Yazid bin ‘Amr Al Ma’afiri dari Abi ‘abdirrahman Al-Hubulli dari Al-Mustarwid bin Syaddal Al Quraisyi, katanya: 

“Saya melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok sela-sela jari kakinya dengan jari kelingkingnya.” Beliau berkata: “sungguh, ini adalah hadits yang baik (hasan), dan saya tidak pernah mendengarnya kecuali saat ini.’
Setelah itu, saya mendengar beliau ditanya (tentang hal ini), maka beliaupun memerintahkan untuk menyela-nyela jari kaki dengan jari (kelingking).”

3. Asy Syafi’i rahimahullah
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, maka riwayat dari beliau dalam hal ini lebih banyak dan lebih baik. Diantaranya adalah:

a. Ucapan beliau:
“Tidak ada seorangpun melainkan hilang dan tersamar atasnya suatu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga bagaimanapun yang saya katakan atau ushul yang saya tetapkan tetapi pada masalah itu ada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyelisihi apa yang saya katakan, maka pendapat yang benar adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan itulah pendapatku juga.”

b. Beliau juga mengatakan:
“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa yang tidak jelas baginya suatu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena pendapat seseorang.”

c. Kemudian:
“Apabila kamu dapati dalam kitabku (sesuatu) yang menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka berpeganglah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan tinggalkanlah apa yang saya ucapkan,” (dalam riwayat lain: Ikutilah sunnah itu dan jangan menoleh kepada pendapat siapapun).”

d. Kata beliau:
“Apabila hadits itu shahih, maka itu adalah mazhabku.”

e. Dan:
“Engkau lebih tahu tentang hadits dan rawi-rawinya dari padaku. Kalau hadits itu shahih, beritahukanlah kepadaku apakah itu dari Kufah, Bashrah atau Syam. Agar aku berpegang dengannya kalau itu shahih.”

f. Juga:
“Semua masalah yang didalamnya terdapat khabar/hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menurut ahli riwayat dan berbeda dengan pendapatku, maka saya ruju’ dari pendapat saya ketika masih hidup maupun sesudah saya mati.”

g. Kemudian:
“Apabila kamu lihat saya mengatakan suatu pendapat, padahal yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah menyelisihinya, maka ketahuilah akal saya telah hilang.”

h. Ucapan Beliau:
“Semua yang sudah saya katakan, dan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari haditsnya yang shahih ternyata berbeda dengan pendapatku, maka hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu lebih utama (untuk diikuti). Maka janganlah kamu taklid kepadaku.’

i. Dan:
“Semua hadits (yang shahih) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka itu adalah pendapatku. Meskipun kamu tidak mendengarnya (langsung) dariku,” (Ibnu Abi Hatim hal 93-94)

4. AHMAD BIN HAMBAL rahimahullah
Adapun Imam Ahmad, beliau adalah imam yang paling banyak mengumpulkan sunnah dan berpegang teguh dengannya, sampai-sampai beliau tidak suka menulis sebuah kitab yang berisi pembahasan tentang cabang-cabang masalah fikih dan ra’yu. Oleh sebab itulah

a.Beliau berkata:
:”Janganlah kamu taklid kepadaku, dan jangan pula taklid kepada Malik, Asy  Syafi’i, Al Auza’i ataupun Ats Tsauri. Ambillah dari sumber mana mereka mengambilnya.”

Dalam riwayat lain:
“Janganlah kamu taklidi dien (ajaran agama) kalian ini kepada siapapun dari tokoh-tokoh ini. Semua yang datang dari Nabi Shallallau ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya, maka peganglah/pedomilah. Kemudian para tabi’in sesudah itu, maka seseorang dalam hal ini, diberi pilihan.”

Pernah pula beliau mengatakan:
“Ittiba’ (mengikuti) itu ialah seseorang mengikuti semua yang datang dari Nabi Shallallau ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya, kemudian setelah para tabi’in dia boleh memilih.”

b. Kata beliau:
“Pendapat/ra’yu Al Auza’i, Malik dan ra’yu Abu Hanifah bagiku semuanya adalah ra’yu, dan semuanya sama. Hujjah itu hanya ada dalam al atsar (hadits).”

c. Juga:
“Siapa yang menolak satu hadits Rasulullah Shallallau ‘alaihi wasallam, berarti dia berada dibibir kehancuran.”
Demikianlah pernyataan para imam tersebut –semoga Allah meridhai mereka- dalam memerintahkan berpegang dengan hadits (shahih), dan larangan taklid kepada mereka tanpa dasar ilmu. Dan ini sangat jelas dan gamblang sehingga tidak menerima bantahan dan takwil.
Sehingga atas dasar ini, maka siapa yang berpegang dengan semua yang shahih dari As-Sunnah meskipun dia menyelisihi sebagian pendapat imam-imam tersebut, tidaklah berarti dia memisahkan diri atau keluar dari mazhab dan jalan mereka. Bahkan sejatinya, dia adalah muttabi’ (pengikut) mereka seluruhnya dan berpegang dengan ‘Urwatul Wutsqa (tali Allah yang kokoh) yang tidak mungkin terputus. Tidak demikian halnya mereka yang meninggalkan (menolak) As Sunnah yang shahih semata-mata karena As Sunnah tersebut menyelisihi/berbeda dengan pendapat imam mereka. Bahkan justru mereka yang seperti ini, adalah orang-orang yang durhaka kepada imam-imam tersebut, menentang perkataan mereka yang telah dipaparkan tadi.

Sumber: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani & Syaikh Abdul  Aziz bin Abdullah bin Baaz. Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam & Fatwa-fatwa Penting Tentangnya. Terjemahan oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib, d.k.k. 2008. Sukoharjo: Maktabah Al-Ghuroba. (hal. 71-83 tanpa footnote)

Buku Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam & Fatwa-fatwa Penting Tentangnya

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants For Single Moms