Oleh: Abu Abdillah
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-nya, amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran dari padanya”. (Surah Al-A’raf:3)
1. ABU HANIFAH rahimahullah
Yang
pertama adalah sahabat Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit rahimahullah. Para (ulama) sahabat atau
pengikut beliau telah meriwayatkan berbagai pendapat dan ungkapan yang semuanya
menegaskan suatu hal, yaitu wajibnya berpedoman/beramal dengan hadits dan
meninggalkan sikap taklid kepada pendapat-pendapat imam yang berbeda dengan
hadits (shahih) tersebut.
Beliau
Menyatakan (yang artinya):
a.
“Jika hadits itu shahih, maka itulah mazhabku”
b.
“ Tidak halal bagi siapapun megambil pendapat kami selama dia tidak megetahui
dari mana kami megambilya”
Dalam
riwayat lain:
“Haram
atas siapapun yang tidak mengetahui dalilku untuk berfatwa dengan pendapatku”
Ada
tambahan lain dalam riwayat lain:
“Maka
sesungguhya kami adalah manusia, hari ini kami menyatakan satu pendapat,
mungkin besok kami akan rujuk dari pendapat itu”
Dalam
riwayat lain:
“Celaka
engkau wahai Ya’qub (yakni Abu Yusuf) jangan kau tulis semua yang engaku dengar
dariku, karena sesungguhya aku megeluarkan satu pendapat pada hari ini, dan
besok saya tinggalkan, atau besok berpendapat lain, lalu lusanya saya
tinggalkan”
Beliau
mengatakan:
“Jika
aku mengatakan satu pendapat yang menyelisihi kitab Allah Ta’ala dan Hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,maka tinggalkanlah pendapatku”.
2. Malik Bin Anas rahimahullah
a.
Adapun imam Malik bin Anas rahimahullah mengatakan (yang artinya):
“saya
hanyalah seorang manusia biasa, bisa salah dan bisa benar.karena itu
lihatlah pendapaku, maka semua yang
sesuai dengan Al-kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah, ambillah. Dan semua yang
tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, tinggalkanlah!”
b.
Kata beliau (yang artinya):
“Tidak
ada satupun setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, melainkan boleh diambil
ucapannya dan boleh ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallau ‘alaihi wasallam”
c.
Ibnu Wahb berkata:
“saya
mendengar Malik ditanya tentang menyela-nyela jari kaki ketika berwudhu’?”
Beliau berkata: “itu bukan kewajiban manusia.” Katanya: “Lalu sayapun
meninggalkannya sampai kaum muslimin merasa ringan, lalu saya katakan padanya:
“Dalam masalah ini kami mempunyai satu (riwayat) sunnah.” Kata beliau: “Apa
itu?” saya katakan: “Al-Laits bin Sa’d dan Ibnu Lahi’ah serta ‘Amr bin Al
Harits telah bercerita kepada kami, dari Yazid bin ‘Amr Al Ma’afiri dari Abi
‘abdirrahman Al-Hubulli dari Al-Mustarwid bin Syaddal Al Quraisyi, katanya:
“Saya melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok sela-sela jari
kakinya dengan jari kelingkingnya.” Beliau berkata: “sungguh, ini adalah hadits
yang baik (hasan), dan saya tidak pernah mendengarnya kecuali saat ini.’
Setelah
itu, saya mendengar beliau ditanya (tentang hal ini), maka beliaupun
memerintahkan untuk menyela-nyela jari kaki dengan jari (kelingking).”
3. Asy Syafi’i rahimahullah
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, maka riwayat dari
beliau dalam hal ini lebih banyak dan lebih baik. Diantaranya adalah:
a. Ucapan beliau:
“Tidak ada seorangpun melainkan hilang dan tersamar
atasnya suatu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga
bagaimanapun yang saya katakan atau ushul yang saya tetapkan tetapi pada
masalah itu ada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyelisihi
apa yang saya katakan, maka pendapat yang benar adalah sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dan itulah pendapatku juga.”
b. Beliau juga mengatakan:
“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa yang tidak jelas
baginya suatu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka tidak halal
baginya untuk meninggalkannya karena pendapat seseorang.”
c. Kemudian:
“Apabila kamu dapati dalam kitabku (sesuatu) yang menyelisihi
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka berpeganglah dengan sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan tinggalkanlah apa yang saya
ucapkan,” (dalam riwayat lain: Ikutilah sunnah itu dan jangan menoleh kepada
pendapat siapapun).”
d. Kata beliau:
“Apabila hadits itu shahih, maka itu adalah
mazhabku.”
e. Dan:
“Engkau
lebih tahu tentang hadits dan rawi-rawinya dari padaku. Kalau hadits itu
shahih, beritahukanlah kepadaku apakah itu dari Kufah, Bashrah atau Syam. Agar
aku berpegang dengannya kalau itu shahih.”
f.
Juga:
“Semua
masalah yang didalamnya terdapat khabar/hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
menurut ahli riwayat dan berbeda dengan pendapatku, maka saya ruju’ dari
pendapat saya ketika masih hidup maupun sesudah saya mati.”
g. Kemudian:
“Apabila kamu lihat saya mengatakan suatu pendapat,
padahal yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah
menyelisihinya, maka ketahuilah akal saya telah hilang.”
h. Ucapan Beliau:
“Semua yang sudah saya katakan, dan dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam dari haditsnya yang shahih ternyata berbeda dengan
pendapatku, maka hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu lebih utama
(untuk diikuti). Maka janganlah kamu taklid kepadaku.’
i. Dan:
“Semua hadits (yang shahih) dari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam maka itu adalah pendapatku. Meskipun kamu tidak mendengarnya
(langsung) dariku,” (Ibnu Abi Hatim hal 93-94)
4.
AHMAD BIN HAMBAL rahimahullah
Adapun Imam Ahmad, beliau adalah imam yang paling banyak
mengumpulkan sunnah dan berpegang teguh dengannya, sampai-sampai beliau tidak
suka menulis sebuah kitab yang berisi pembahasan tentang cabang-cabang masalah
fikih dan ra’yu. Oleh sebab itulah
a.Beliau berkata:
:”Janganlah kamu taklid kepadaku, dan jangan pula
taklid kepada Malik, Asy Syafi’i, Al
Auza’i ataupun Ats Tsauri. Ambillah dari sumber mana mereka mengambilnya.”
Dalam riwayat lain:
“Janganlah kamu taklidi dien (ajaran agama) kalian
ini kepada siapapun dari tokoh-tokoh ini. Semua yang datang dari Nabi Shallallau ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya,
maka peganglah/pedomilah. Kemudian para tabi’in sesudah itu, maka seseorang
dalam hal ini, diberi pilihan.”
Pernah
pula beliau mengatakan:
“Ittiba’
(mengikuti) itu ialah seseorang mengikuti semua yang datang dari Nabi
Shallallau ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya, kemudian setelah para tabi’in
dia boleh memilih.”
b.
Kata beliau:
“Pendapat/ra’yu
Al Auza’i, Malik dan ra’yu Abu Hanifah bagiku semuanya adalah ra’yu, dan
semuanya sama. Hujjah itu hanya ada dalam al atsar (hadits).”
c.
Juga:
“Siapa
yang menolak satu hadits Rasulullah Shallallau ‘alaihi wasallam, berarti dia
berada dibibir kehancuran.”
Demikianlah pernyataan para imam tersebut –semoga
Allah meridhai mereka- dalam memerintahkan berpegang dengan hadits (shahih),
dan larangan taklid kepada mereka tanpa dasar ilmu. Dan ini sangat jelas dan
gamblang sehingga tidak menerima bantahan dan takwil.
Sehingga atas dasar ini, maka siapa yang berpegang
dengan semua yang shahih dari As-Sunnah meskipun dia menyelisihi sebagian
pendapat imam-imam tersebut, tidaklah berarti dia memisahkan diri atau keluar
dari mazhab dan jalan mereka. Bahkan sejatinya, dia adalah muttabi’ (pengikut) mereka seluruhnya dan berpegang dengan ‘Urwatul Wutsqa (tali Allah yang kokoh)
yang tidak mungkin terputus. Tidak demikian halnya mereka yang meninggalkan
(menolak) As Sunnah yang shahih semata-mata karena As Sunnah tersebut menyelisihi/berbeda
dengan pendapat imam mereka. Bahkan justru mereka yang seperti ini, adalah
orang-orang yang durhaka kepada imam-imam tersebut, menentang perkataan mereka
yang telah dipaparkan tadi.
Sumber: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani &
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz.
Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam & Fatwa-fatwa Penting Tentangnya. Terjemahan oleh Al-Ustadz
Abu Muhammad Harits Abrar Thalib, d.k.k. 2008. Sukoharjo: Maktabah Al-Ghuroba.
(hal. 71-83 tanpa footnote)


01.47
Muhammad Al Imran


0 komentar:
Posting Komentar