1. Penuntut Wajib Mendatangkan Bukti
Penuntut
itu wajib mendatangkan bukti.
2. Pengingkaran dengan Sumpah bagi yang
Dituntut
Dan
bagi yang mengingkari diharuskan bersumpah (setelah penuntut tidak mendatangkan
bukti).
Catatan:
Bukti lebih kuat daripada sumpah.
3. Dengan Apa Seorang Hakim Menetapkan
Hukum?
Seorang
hakim menjatuhkan vonis hukum berdasarkan pengakuan dan berdasarkan persaksian
2 orang laki-laki, atau seorang laki-laki dan 2 orang wanita[1],
atau seorang laki-laki dan sumpah pendakwa, dan sumpah terdakwa yang
mengingkari dan sumpah penolakan.[2]
Dan seorang hakim boleh menjatuhkan hukum berdasarkan pada pengetahuannya.
Terdapat
silang pendapat dikalangan para ulama berkaitan dengan hal ini. Dan Imam Asy-Syaukani
memandang hal tersebut diperbolehkan jika dia memberikan keputusan dengan
pengetahuan dan tidak ada dukhma.
Berhukum
dengan pengetahuan tersebut ditolak oleh sejumlah para ulama, sebab telah syah
dari Abu Bakar, Umar, Abdurrahman bin Auf, Muawiyah radiyallahu ta’ala ‘anhum
yang mereka semuanya adalah qadhi, dimana mereka melarang seorang qadhi untuk
memutus berdasarkan pengetauannya. Dan sahabat tersebut tidak ada yang
menyelisihi diantara para sahabat yang lainnya.
Dan
dimaklumi bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sangat mengetahui siapa yang
munafik dan bukan, tetapi bersamaan dengan itu Beliau Shallallahu ‘alaihi
wasallam tidak mengetahui hukum kecuali dengan bukti-bukti dan kenyataan yang
ada (lihat hadits Ummu Salamah).
Maka
wallahu a’lam yang benarnya adalah seorang qadhi tidak layak untuk memutus
perkara berdasarkan pengetahuannya.
4. Golongan Orang yang Ditolak
Persaksiannya
1) Persaksian
seorang yang tidak adil tidaklah diterima persaksiannya. Lihat surah
Ath-Thalaq: 2, Al-Baqarah:282 dan Al-Hujrat:6.
2) Dan
tidakpula seorang yang khianat.
3) Orang
yang memiliki permusuhan.
4) Seorang
yang dusta pembicaraannya kepada manusia dan seorang yang diberi nafkah oleh ahlul bayti.
5) Seorang
tukang fitnah (menuduh tanpa bukti). Lihat surah An-Nur: 4 dan 13.
6) Dan
tidak pula seorang badui pedalaman atas seorang yang tinggal diperkampungan
atau kota.
Persaksian
itu diterima dengan beberapa syarat yaitu:
1) Orang
yang bersaksi adalah orang yang baligh. Anak kecil tidak diterima persaksiannya
kecuali masalahnya itu antara sesama anak kecil, jika mereka ditolak maka akan
hilang seluruh hak-hak mereka.
Ibnu
Qayyim: ‘Para sahabat dan ahlul fiqih negeri Madinah mereka menerima persaksian
anak kecil pada perkara-perkara yang mereka saling melukai diantara mereka”.
2) Orang
yang berakal atau waras.
3) Bisa
berbicara, isyarat tidak diterima walaupun isyaratnya dipahami, kecuali orang
bisu tersebut menulis.
4) Keislaman.
Pengakuan orang kafir tidak diterima.
5) Menghafal
apa yang dipersaksikan (bukan lupa).
6) Orang
yang adil.
5. Tentang Persaksian Seseorang Terhadap
Perbuatan atau Ucapannya Sendiri
Dibolehkan
persaksian seorang yang mempersaksikan atas pembenaran perbuatan atau perkataannya
apabila tuduhan telah tertiadakan.
Catatan:
a) Asy-Syaukani
berdalilkan dengan dalil umum. “Asalnya persaksian itu diterima asalkan tidak
ada dalil yang melarangnya”.
b) Baca
kisah tentang perempuan yang menyusui 2 orang dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam menerima persaksian tersebut.
6. Dosa Persaksian Palsu
Dan
persaksian dusta/palsu termasuk salah satu diantara dosa besar.
7. Apabila Dua Bukti Bertentangan
Dan
apabila ada 2 bukti yang bertentangan dan tidak ada sis penguatan salah satunya,
maka hak yang diklaim dibagi. Hal ini kembali kepada ijtihad hakim dalam
melihat bayyinah dan qarinah.
8. Kewajiban Apa yang Dituntut Bila
Tidak Ada Bukti dari Penuntut?
Apabila
pihak penuntut tidak memiliki bukti, maka tidak ada baginya selain sumpah lawan
sengketanya walaupun sumpah tersebut sumpah dusta. Dan bukti tidaklah diterima
setelah adanya sumpah.
9. Ketentuan dan Konsekuensi Pengakuan
Al-Iqror
secara bahasa yaitu mengakui sebuah pembenaran. Sedangkan secara istilah adalah
dia mengabarkan hakikat sebuah perkara bahwa sesuatu itu milik orang lain dan
bukan miliknya. Atau apa yang dituntut itu adalah hal yang benar.
Bagi
orang yang mengakui, syahnya pengakuan tersebut dengan beberapa syarat:
a) Seorang
yang mukallaf (Bukan anak kecil dan tidak gila).
b) Pengakuan
tersebut bukan dalam keadaan terpaksa.
c) Syarat
orang yang melakukan iqrar tersebut bukan orang yang dihajr (bukan dihajr
karena permasalahan dirinya).
d) Dia
bukan mengakui sesuatu dari milik orang lain.
Dan
siapa saja yang mengakui sesuatu dalam kondisi dia berakal sehat, baligh, tidak
bersenda gurau dan bukan sesuatu yang mustahil secara akal dan kebiasaan, maka
dia dikenakan konsekuensi atas seluruh pengakuannya, apapun yang dia iqrarkan
tersebut.
Dan
pengakuan cukup hanya sekali tanpa dibedakan antara pengakuan yang menyebabkan
jatuhnya sanksi-sanksi hudud dan selainnya. Sebagaimana akan disebutkan nanti.
1 komentar:
pusulabet
sex hattı
https://izmirkizlari.com
rulet siteleri
rexbet
UZ6
Posting Komentar