1. Pembahasan Warisan
Telah Dijelaskan Secara Rinci dalam Al-Qur`ân
Warisan
adalah permasalahan yang telah dirinci di dalam Al-Kitab Al-Aziz. Lihat surah
An-Nisa: 11, 12 dan 176. Untuk Dzawil Arham lihat surah Al-Anfal:75.
2. Kewajiban untuk
Memulai dari Pemilik Furûdh Kemudian kepada ‘Ashabah
Wajib
memulai dengan memberi para Ashabul Fard yang telah ditentukan kadar bagian
mereka. Dan sisanya (kalau ada lebihnya) diserahkan kepada Al-Ashabah (Ini
tidak ditentukan kadarnya). Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abas riwayat
Al-Bukhari dan Muslim. Dan ini merupakan hadits pokok di dalam pembahasan
warisan.
“Berikanlah
bagian-bagian al-fardhu kepada yang menerimanya. Dan bagian yang tersisa, maka
bagi kerabat laki-laki terdekat.”
3. Beberapa Rincian
Berkaitan dengan Pemilik Furûdh dan ‘Ashabah
Contoh
Ashabah: Saudari-saudari perempuan bersama dengan anak-anak perempuan.
Ahli
waris yang berhak mendapatkan 1/6 yaitu:
1)
Putri
anak laki-laki bersama dengan putri si mayyit.
2)
Saudari
sebapak bersama dengan saudari sekandung.
3)
Nenek
wanita jika tidak terdapat ibu.
4)
Dan
kakek bersama ahli waris yang tidak menggugurkannya.
Tidak
ada bagian warisan bagi saudara dan saudari, jika bersama dengan anak, cucu
laki-laki dan bapak.
Penjelasan
perselisihan pendapat berkaitan dengan hak waris saudara dan saudari bersama
dengan kakek.“Dan pada bagian warisan mereka bersama dengan kakek terdapat
perselisihan pendapat.” Dalam hal ini terdapat 2 pendapat dikalangan para ulama
dan Asy-Syaukani lebih berpendapat bahwa adanya kakek itu menggugurkan saudara
laki-laki dan perempuan. Jadi dipersamakan antara adanya ayah dan kakek. Hal
ini dikuatkan oleh sejumlah ulama diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan
Syaikh Al Fawzan.
Para
saudara turut mendapat warisan bersama dengan para anak putri, kecuali saudara
seibu. Dan saudara sebapak menjadi gugur bersama keberadaan saudara kandung.
4. Tentang Dzawil
Arham
Dan
ulul Arham mereka saling mewarisi. Dan mereka lebih di dahulukan dari baitul
mal. Maksudnya, dzawil arham itu lebih didahulukan dari pada baitul mal. Sebab
apabila dzawil arham tidak ada, maka warisan tersebut diberikan ke baitul mal.
5. Tentang Al-‘Aul
Pembahasan
ini tidak seluruh dari ulama yang berbicara tentang waris menetapkan Al-‘Aul
tersebut. Al-‘Aul yaitu adanya penambahan pada asal masalah dan menghasilkan
sebagian dari nishab tersebut terkurangi.
Misalnya dari yang mewarisi ada yang mendapat 1/2 dan yang satunya mendapat 1/3
dan yang satunya lagi mendapat 1/2. Jika diberi1/2 dan 1/2, maka tidak bisa
lagi dibagi untuk yang lainnya. Maka disini dibuatkan tambahan dalam asal
masalah sehingga ada yang dikurangi dari haknya sehingga pembagian tersebut
rata untuk semua yang mewarisi. Dan ini ada rincian-rinciannya.
6. Tentang Warisan
untuk Anak Zina dan Anak Mula’anah
Dan
anak Al-Mula’anah [anak orang yg melakukan mula’anah dalam pembahasan li’an
dimana ayahnya/(suami) mengingkari anak tsb sebagai anaknya, sehingga anak tsb
dinisbahkan kepada ibunya] dan anak hasil perzinahan tidaklah mewarisi kecuali
dari ibunya dan kerabat ibunya, Begitu sebaliknya.
7. Kapan Seorang Bayi
Mewarisi?
Seorang
bayi tidak mewarisi kecuali apabila dia telah istihlaal [sudah nampak
dipermukaan (dia sudah lahir) atau (dia sudah menangis). Hal ini berdasarkan
hadits Abu Hurairah pada riwayat abu Dawud.
“Apabila
seorang anak yang terlahir telah menangis, maka dia dapat mewarisi”.
Syarat
bayi untuk mewarisi yaitu:
1.
Telah dipastikan di dalam kandungan ada bayinya/janin.
2.
Apabila bayi tersebut telah dilahirkan, maka ada suara tangisan atau yg
semisalnya.
Jika
terpenuhi kedua syarat tersebut, maka dia berhak untuk mendapatkan warisan.
Sebab apa yang ada di dalam perut, dia mendapatkan hak dari warisan.
Jika
si anak yg ada di dalam kandungan itu belum diketahui jenis kelaminnya dan
berapa jumlahnya, satu atau kembar. Jika kembar, kembar berapa? maka hal ini
tentu saja akan mempengaruhi hukum. Jadi, jika dia masih di dalam perut, maka
bagaimana cara membainya? maka disini terdapat 2 pembahasan.
1.
Bolehkah membagi warisan, sebelum bayi lahir? Maka disini terdapat 2 pendapat
dikalangan para ulama. Ada yang mengatakan boleh dan ada yang mengatakan tidak.
Asalnya warisan itu boleh dibagi dan setiap orang punya hak di dalamnya, maka
sepanjang setiap pemilik hak itu bisa mengambil haknya maka boleh. Maka cara
membaginya itu dengan cara dikira-kira.
Apakah
yang lahir tersebut nanti laki-laki atau perempuan. atau jika yang lahir adalah
2 anak sekaligus (kembar). Maka disini ada beberapa kemungkinan, jika dia
kembar maka mungkin laki-laki keduanya, perempuan semuanya atau laki-laki dan
perempuan. Jadi dalam hal ini tinggal dihitung.
2.
Jika ada dari ahli waris, maka ada beberapa kemungkinan dapat sekian, maka
kemungkinan tersebut diambil yang paling sedikitnya. Nanti jika bayinya lahir
dan kurang, maka nanti diberikan tambahannya.
Jika
setelah ditotal semuanya (misalnya 5 orang yang mewarisi), ada yang disebagian
keadaan dia mewarisi dan disebagian keadaan dia di hajr (tidak mewarisi), maka
yang seperti ini tidak diberi. Nanti setelah lahir kepastiannya dilihat, apakah
diberikan atau tidak.
8. Tentang Seorang
Budak yang Telah Dibebaskan
Warisan
seorang budak yang dibebaskan diserahkan kepada yang membebaskannya. Dan
menjadi gugur dengan adanya ‘ashabah dan baginya sisa harta warisan setelah
orang-orang yang mendapatkan bagian terpenuhi.
Sebab
seseorang menapatkan warisan yaitu:
1.
Karena hubungan nashab. Bukan dari susuan, sebab susuan tidak mendapat warisan.
2. Pernikahan. 3. Walaa’.
9. Keharaman
Penjualan atau Penghibahan Wala`
Diharamkan
manjaual Al-Walaa’ dan menghibahkannya.
10. Dua Penganut
Agama yang Berbeda Tidak Saling Mewarisi
Dan
kedua penganut agama yang berbeda tidak saling mewarisi.
11. Pembunuh Tidaklah
Mewarisi Harta Si Terbunuh
Dan
seorang pembunuh tidak mewarisi si korban.
12. Apakah Seorang Budak Bisa Mewarisi?
Asy-Syaukani berpendapat bahwa antara sesama budak itu
adalah hal yang mungkin, walaupun ada yang menukil kesepakatan bahwa dengan
perbudakan itu adalah hal yang menyebabkan seseorang itu tertahan dari
mendapatkan warisan.
0 komentar:
Posting Komentar