Kamis, 02 April 2015

1. KITAB THAHARAH (Bersuci) - Part 1


PEMBAHASAN PERTAMA: DEFINISI THAHARAH

Thaharah secara bahasa adalah berbersih dan bersuci dari kotoran-kotoran. Sedangkan thaharah secara istilah terbagi menjadi 2 yaitu:

a) Thaharah Ma’nawiyah yaitu thaharah yang berkaitan dengan hati.
b) Thaharah Hissiyah yaitu thaharah yanng berkaitan dengan tubuh.

Adapun dalam bab fiqih, thaharah yang diinginkan adalah thaharah hissiyah karena itulah definisi thaharah dalam uraian ulama fiqih kebanyakan seputar thaharah hissiyah.


Adapun thaharah hissiyah, beraneka ragam ucapan ahli fiqih diantaranya:

a) Ibnu Mulaqqin memandang bahwa devinisi thaharah yang paling baik dan ringkas adalah “pekerjaan yang menjadikan diperbolehkannya shalat dengan mengerjakannya.

b) Devinisi lain menurut ulama Hanafilah “Thaharah adalah mengangkat hadats dan menghilangkan najis”.

Hadats terbagi menjadi 2 yaitu:

a) Hadats Asghar adalah hadats yang tidak diwajibkan mandi tetapi da membatalkan thaharah (wudhu). Contohnya adalah buang air kecil, buang air besar, buang angin. Cara mensucikannya adalah dengan cara berwudhu.

b) Hadats Akbar adalah hadats yang diwajibkan mandi apabila seseoang terkena dengannya. Contohnya adalah junub, mimpi basah, perempuan yang keluar haidh, nifas. Cara mensucikannya adalah dengan cara dia berwudhu dan mandi dengan menggunakan air.

PEMBAHAAN KEDUA: HUKUM THAHARAH

Hukum thaharah adalah hal yang diwajibkan bagi siapa yang hendak shalat. Dalil dari Al-Qur’an, sunnah dan ijma (kesepakatan) para ulama menunjukkan wajibnya berthaharah untuk shalat dan shalat tidaklah sah kecuali dengan thaharah. Dalilnya lihat surah Al-Maidah:6.

BAB AL-MIYAH (Bab Tentang Air-air)

Bab artinya Pintu. Sedangkan "Miyaah" adalah kata jamak dari "maa’un" yang asalnya adalah "mauhun" maknanya ketika dijamak ha-nya yang dinampakkan. Jadibab miyaah” artinya pintu yang bisa menganarkan kita kepada hukum-hukum seputar air. Dijamak air-air di sini dilihat kepada jenis dan hukum air berbeda-beda dan beranekaragam sehingga dijamak oleh penulis dan asalnya air itu hanya satu yaitu disebut air.

PEMBAHASAN PERTAMA: BENDA CAIR YANG BOLEH DIPAKAI BERTHAHARAH

Air adalah suci lagi mensucikan, maksudnya air itu suci pada zatnya dan mensucikan selainnya. Yang namanya benda cair tentunya banyak ada air, air kelapa, minyak, sari buah dan selainnya. Semuanya disebut sebagai benda cair, namun yang boleh dipakai berthaharah yaitu air yang disebut dengan air mutlak. Inilah yang diterangkan di dalam Al-Qur’an pada 3 ayat yaitu:

 a) Al-Furqan: 48
 b) Al-Anfal: 11
 c) Al-Maidah: 6

Air Mutlak adalah air yang belum bercampur dengan sesuatu yang lain dan masih berada di atas asal penciptaannya, apakah dia turun dari langit, dia keluar dari bumi (tanah), mengalir di sungai-sungai dan ini mencakup air sungai, air laut dengan berbagai ragam dan jenisnya walaupun kadang warnanya tidak putih. Seperti disebagian tempat ketika digali, maka yang ditemukan itu adalah air yang berwarna kuning.

Apakah air mutlak boleh dipakai berthaharah? Jawabannya boleh, sebab ia masih berada di atas asal penciptaannya (masih masuk katergori air mutlak). Contoh lainnya adalah air laut yang memiliki perbedaan bau dan rasa dengan air tawar, tapi bersamaan dengan itu Nabi Shallallhu ‘alaihi wasallam menggolonkan air laut tersebut sebagai air yang bisa digunakan untuk bersuci. (Lihat hadits Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh imam empat dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan At-Tirmidzi).

Dan “Air laut adalah dia yang airnya mensucikan dan bangkainya halal".

PEMBAHASAN KEDUA: PEMBAGIAN AIR

Yang mahsyur dikalangan ulama bahwa air itu terbagi menjadi 3 yaitu:

a)Thohirun Muthohhirun yaitu air yang suci lagi mensucikan. Maka ini adalah air mutlak yang berada di atas asal penciptaannya.
b)Thohir Gairihi Muthohhir yaitu air yang suci tetapi tidak lagi mensucikan sebab sudah bercampur dengan sesuatu yang lain dan sesuatu itu mendominasi air tersebut
c) Air Najis.

Catatan: Inilah pembagian air yang mahsyur dikalangan ahli fiqih, walaupun yang dikenal oleh muhaqqiqin dari para ulama seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, syaikh Abdurrahman bin Nashr As-si’di, syaikh bin Baaz dan selainnya yang berpendapat bahwa air itu hanya dibagi 2 saja yaitu air thohur dan air najis. Sebab bagi mereka yang namanya air itulah sifat yang disebutkan di dalam Al-Qur’an. Catatan: Pembagian ini tidak terlalu dipermasalahkan.

PEMBAHASAN KETIGA: SIFAT AIR YANG BOLEH DIGUNAKAN UNTUK BERTHAHARAH

Sifat air yang boleh digunakan untuk berthaharah yaitu “Air itu suci lagi mensucikan” apabila keluar dari salah satu sifat tersebut, maka tidak dapat dipakai berthaharah.

PEMBAHASAN KEEMPAT : HUKUM AIR YANG KEJATUHAN NAJI 

Tidak ada yang mengeluarkan air ini dari kedua sifatnya kecuali apa yang mengubah bau, warna dan rasanya dari jenis-jenis najis. Jadi, air yang kejatuhan najis itu hukumnya dilihat dari perubahan ketiga sifanya. Inilah yang dipegang oleh Imam Asy-Syaikani dan dikuatkan oleh banyak ulama kita dimasa ini.

Mereka berdalilkan dengan sebuah hadits, walaupun hadits tersebut memiliki kelemahan dari sisi sanad, tetapi kandungan hadits tersebut dianggap syah oleh para ulama berdasarkan ijma’ di dalam memahami nash-nash ayat maupun hadits yang mengarah kepada makna hadits yang lemah itu. Seperti hadits Abu Umamah Al-Bahili riwayat Ibnu Majah dan selainnya. “Sesungguhnya air itu tidak dinajisi dengan sesuatu apapun kecuali apa yang mendominasi bau, rasa dan warnanya”. Dan di dalam riwayat Al-Baihaqi “Air itu suci kecuali berubah bau, rasa dan warnanya karena najis yag jatuh padanya”.

PEMBAHASAN KELIMA: HUKUM AIR YG KEJATUHAN BENDA SUCI

Jika dia kejatuhan najis maka keluar dua sifat sekaligus yaitu suci dan mensucikan dan berubah menjadi najis. Sedangkan apabila dia kejatuhan benda suci maka keluar sifat yang kedua yaitu mensucikan di mana dia tetap suci tetapi tidak dapat dipakai untuk bersuci.

Hukum air yang kejatuhan benda suci harus dibedakan sebagai berikut:

a) Benda suci yang mendominasi air maka tidak dapat dipakai untuk bersuci. Contohnya: air teh, air sabun dlsb. b) Benda suci yang tidak mendominasi air maka bisa dipakai untuk berthaharah. Walaupun dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama, tetapi yang benarnya adalah bisa dipakai untuk bersuci. Banyak dalil yang menunjukkan hal ini, diantaranya:

Dalilnya kisah seorang istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menuangkan air wudhu untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dari bejana bekas adonan roti maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu darinya. Kemudian akan  datang pembahasan pada kitab jenazah pada hadits Ummu Aqiyah dimana adanya perintah untuk memandikan jenazah dengan menggunakan air daun bidara. Apakah daun bidara tersebut mengubah air? tentunya ada, walaupun tidak mendominasi, tetapi bau dari daun bidara nampak di air. Bersamaan dengan itu, dia bisa digunakan untuk mensucikan jenazah. Maka ini diantara dalil-dalil yang menunjukkan bahwa benda suci jika tidak mendominasi air, maka bisa digunakan untuk bertahaharah.

Kesimpulannya: Hukum air yang kejatuhan benda suci itu perlu dirinci. Jika benda sucinya mendominsasi air, maka airnya tidak bisa digunakan berthaharah sebab sudah hilang sifat muthohhirnya. Sedangkan jika benda sucinya tidak mendominsasi air, maka bisa digunakan untuk bersuci. 

PEMBAHASAN KEENAM:  ADAKAH PERBEDAAN ANTARA AIR YANG SEDIKIT DAN AIR YANG BANYAK MENGENAI KEJATUHAN NAJIS DAN BENDA SUCI?

Tidak ada perbedaan antara air yang sedikit dan banyak dalam hal ini. Sebab hadits-hadits yang menjelaskan tentang adanya perbedaan tersebut adalah hadits-hadits yang kadang hadits tersebut ada kelemahan padanya dan kadang hadits tersebut berasal dari sisi pemahaman yang tidak mengkhususkan makna umum yang tersirat di dalam nash-nash.

PEMBAHASAN KETUJUH: ADAKAH PERBEDAAN ANTARA AIR YANG LEBIH DARI DUA KULLAH DAN KURANG DARI DUA KULLAH?

Ibnu Mulaqqin rahimahullah berkata “al-qulla secara bahasa bermakna kendi besar yang hanya bisa diangkat oleh beberapa orang lelaki yang kuat”. (Al-Badru Al-Munir: 2/107).  Tidak ada perbedaan antara air yang lebih dari dua kullah dan kurang dari dua kullah, yang menjadi ukuran adalah bau, warna dan rasanya. Ukuran satu kullah sendiri itu berapa? Ini banyak perbedaan pendapat dikalangan fuqaha. Imam Ashonani rahimahullah berpendapat bahwa ukuran satu dan dua kullah ini adalah ukuran yang tidak jelas. Bagaimana bisa dijadikan sebagai ukuran sesuatu yang tidak jelas.

PEMBAHASAN KEDELAPAN: ADAKAH PERBEDAAN ANTARA AIR YANG BERGERAK DENGAN AIR YANG DIAM?

Tidak ada perbedaan antara air yang bergerak dan air yang diam dari sisi hukum apakah air itu menjadi suci atau tidak. Adapun membuang air kecil di air tergenang ini yang ada larangannya. Dan akan datang pembahasannya pada tempat-tempat yang dilarang membuang hajat.

PEMBAHASAN KESEMBILAN: ADAKAH PERBEDAAN ANTARA AIR MUSTA'MAL DENGAN AIR SELAIN MUSTA'MAL?

Tidak ada perbedaan antara air musta’mal dan selain musta’mal, ukurannya adalah bau, warna dan rasanya. Air musta’mal adalah sisa air yang dipakai bersuci. Misalnya ada seseorang yang menggunakan air dalam sebuah baskom atau timbah, dia berwudhu dengannya, maka sisa air wudhu tersebut dinamakan dengan air musta’mal.

Bersambung...



0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants For Single Moms