PEMBAHASAN
PERTAMA: DEFINISI THAHARAH
Thaharah secara bahasa adalah berbersih dan bersuci dari kotoran-kotoran. Sedangkan thaharah secara istilah terbagi menjadi 2 yaitu:
a) Thaharah Ma’nawiyah yaitu thaharah yang berkaitan dengan hati.
b) Thaharah
Hissiyah yaitu thaharah yanng berkaitan dengan tubuh.
Adapun dalam bab fiqih, thaharah yang diinginkan adalah thaharah hissiyah karena itulah definisi thaharah dalam uraian ulama fiqih kebanyakan seputar thaharah hissiyah.
Adapun thaharah hissiyah, beraneka
ragam ucapan ahli fiqih diantaranya:
a) Ibnu Mulaqqin memandang bahwa
devinisi thaharah yang paling baik dan ringkas adalah “pekerjaan yang
menjadikan diperbolehkannya shalat dengan mengerjakannya.
b) Devinisi lain menurut ulama
Hanafilah “Thaharah adalah mengangkat hadats dan menghilangkan najis”.
Hadats terbagi menjadi 2 yaitu:
a) Hadats Asghar adalah hadats yang
tidak diwajibkan mandi tetapi da membatalkan thaharah (wudhu). Contohnya adalah buang
air kecil, buang air besar, buang angin. Cara mensucikannya adalah dengan cara
berwudhu.
b) Hadats Akbar adalah hadats yang
diwajibkan mandi apabila seseoang terkena dengannya. Contohnya adalah junub,
mimpi basah, perempuan yang keluar haidh, nifas. Cara mensucikannya adalah
dengan cara dia berwudhu dan mandi dengan menggunakan air.
PEMBAHAAN KEDUA: HUKUM THAHARAH
Hukum thaharah adalah hal yang
diwajibkan bagi siapa yang hendak shalat. Dalil dari Al-Qur’an, sunnah dan ijma
(kesepakatan) para ulama menunjukkan wajibnya berthaharah untuk shalat dan
shalat tidaklah sah kecuali dengan thaharah. Dalilnya lihat surah Al-Maidah:6.
BAB AL-MIYAH (Bab Tentang Air-air)
Bab artinya Pintu. Sedangkan "Miyaah"
adalah kata jamak dari "maa’un" yang asalnya adalah "mauhun"
maknanya ketika dijamak ha-nya yang dinampakkan. Jadi “bab miyaah” artinya pintu yang bisa menganarkan
kita kepada hukum-hukum seputar air. Dijamak air-air di sini dilihat kepada jenis dan hukum
air berbeda-beda dan beranekaragam sehingga dijamak oleh penulis dan asalnya
air itu hanya satu yaitu disebut air.
PEMBAHASAN PERTAMA: BENDA CAIR YANG
BOLEH DIPAKAI BERTHAHARAH
Air adalah suci lagi mensucikan,
maksudnya air itu suci pada zatnya dan mensucikan selainnya. Yang namanya benda
cair tentunya banyak ada air, air kelapa, minyak, sari buah dan selainnya.
Semuanya disebut sebagai benda cair, namun yang boleh dipakai berthaharah
yaitu air yang disebut dengan air mutlak. Inilah yang diterangkan di dalam
Al-Qur’an pada 3 ayat yaitu:
a) Al-Furqan: 48
b) Al-Anfal: 11
c) Al-Maidah: 6
Air Mutlak adalah air yang belum bercampur dengan sesuatu yang lain dan masih berada di atas asal penciptaannya, apakah dia turun dari langit, dia keluar dari bumi (tanah), mengalir di sungai-sungai dan ini mencakup air sungai, air laut dengan berbagai ragam dan jenisnya walaupun kadang warnanya tidak putih. Seperti disebagian tempat ketika digali, maka yang ditemukan itu adalah air yang berwarna kuning.
Apakah air mutlak boleh dipakai berthaharah? Jawabannya boleh, sebab ia masih berada di atas asal penciptaannya (masih masuk katergori air mutlak). Contoh lainnya adalah air laut yang memiliki perbedaan bau dan rasa dengan air tawar, tapi bersamaan dengan itu Nabi Shallallhu ‘alaihi wasallam menggolonkan air laut tersebut sebagai air yang bisa digunakan untuk bersuci. (Lihat hadits Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh imam empat dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan At-Tirmidzi).
Dan “Air laut adalah dia yang airnya mensucikan dan
bangkainya halal".
PEMBAHASAN KEDUA: PEMBAGIAN AIR
Yang mahsyur dikalangan ulama bahwa air itu terbagi menjadi
3 yaitu:
a)Thohirun Muthohhirun
yaitu air yang suci lagi mensucikan. Maka ini adalah air mutlak yang berada di
atas asal penciptaannya.
b)Thohir Gairihi Muthohhir
yaitu air yang suci tetapi tidak lagi mensucikan sebab sudah bercampur
dengan sesuatu yang lain dan sesuatu itu mendominasi air tersebut
c) Air Najis.
Catatan: Inilah pembagian air yang mahsyur dikalangan ahli fiqih, walaupun yang dikenal oleh muhaqqiqin dari para ulama seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, syaikh Abdurrahman bin Nashr As-si’di, syaikh bin Baaz dan selainnya yang berpendapat bahwa air itu hanya dibagi 2 saja yaitu air thohur dan air najis. Sebab bagi mereka yang namanya air itulah sifat yang disebutkan di dalam Al-Qur’an. Catatan: Pembagian ini tidak terlalu dipermasalahkan.
PEMBAHASAN KETIGA: SIFAT AIR YANG BOLEH DIGUNAKAN UNTUK BERTHAHARAH
Sifat air yang boleh digunakan untuk berthaharah yaitu “Air itu suci lagi mensucikan” apabila keluar dari salah satu sifat tersebut, maka tidak dapat dipakai berthaharah.
PEMBAHASAN KEEMPAT : HUKUM AIR YANG KEJATUHAN NAJI
Tidak ada yang mengeluarkan air ini dari kedua sifatnya kecuali apa yang mengubah bau, warna dan rasanya dari jenis-jenis najis. Jadi, air yang kejatuhan najis itu hukumnya dilihat dari perubahan ketiga sifanya. Inilah yang dipegang oleh Imam Asy-Syaikani dan dikuatkan oleh banyak ulama kita dimasa ini.
Mereka berdalilkan dengan sebuah hadits, walaupun hadits tersebut memiliki kelemahan dari sisi sanad, tetapi kandungan hadits tersebut dianggap syah oleh para ulama berdasarkan ijma’ di dalam memahami nash-nash ayat maupun hadits yang mengarah kepada makna hadits yang lemah itu. Seperti hadits Abu Umamah Al-Bahili riwayat Ibnu Majah dan selainnya. “Sesungguhnya air itu tidak dinajisi dengan sesuatu apapun kecuali apa yang mendominasi bau, rasa dan warnanya”. Dan di dalam riwayat Al-Baihaqi “Air itu suci kecuali berubah bau, rasa dan warnanya karena najis yag jatuh padanya”.
PEMBAHASAN KELIMA: HUKUM AIR YG KEJATUHAN BENDA SUCI
Jika dia kejatuhan najis maka keluar
dua sifat sekaligus yaitu suci dan mensucikan
dan berubah menjadi najis. Sedangkan apabila dia kejatuhan benda suci maka
keluar sifat yang kedua yaitu mensucikan di mana dia tetap suci tetapi tidak
dapat dipakai untuk bersuci.
Hukum air yang kejatuhan benda suci
harus dibedakan sebagai berikut:
a) Benda suci yang mendominasi air maka
tidak dapat dipakai untuk bersuci. Contohnya: air teh, air sabun dlsb. b) Benda suci yang tidak mendominasi air maka bisa dipakai untuk berthaharah. Walaupun dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat
dikalangan para ulama, tetapi yang benarnya adalah bisa dipakai
untuk bersuci. Banyak dalil yang menunjukkan hal
ini, diantaranya:
Dalilnya kisah seorang istri Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam yang menuangkan air wudhu untuk Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam dari bejana bekas adonan roti maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu darinya. Kemudian akan datang pembahasan pada kitab jenazah
pada hadits Ummu Aqiyah dimana adanya perintah untuk memandikan jenazah dengan
menggunakan air daun bidara. Apakah daun bidara tersebut mengubah air? tentunya
ada, walaupun tidak mendominasi, tetapi bau dari daun bidara nampak di air.
Bersamaan dengan itu, dia bisa digunakan untuk mensucikan jenazah. Maka ini
diantara dalil-dalil yang menunjukkan bahwa benda suci jika tidak mendominasi
air, maka bisa digunakan untuk bertahaharah.
Kesimpulannya: Hukum air yang kejatuhan benda suci itu perlu
dirinci. Jika benda sucinya mendominsasi air, maka airnya tidak bisa digunakan
berthaharah sebab sudah hilang sifat muthohhirnya. Sedangkan jika benda sucinya
tidak mendominsasi air, maka bisa digunakan untuk bersuci.
PEMBAHASAN KEENAM: ADAKAH PERBEDAAN ANTARA AIR YANG
SEDIKIT DAN AIR YANG BANYAK MENGENAI KEJATUHAN NAJIS DAN BENDA SUCI?
Tidak ada perbedaan antara air yang
sedikit dan banyak dalam hal ini. Sebab hadits-hadits yang menjelaskan tentang
adanya perbedaan tersebut adalah hadits-hadits yang kadang hadits tersebut ada
kelemahan padanya dan kadang hadits tersebut berasal dari sisi pemahaman yang
tidak mengkhususkan makna umum yang tersirat di dalam nash-nash.
PEMBAHASAN KETUJUH: ADAKAH PERBEDAAN ANTARA AIR YANG LEBIH
DARI DUA KULLAH DAN KURANG DARI DUA KULLAH?
Ibnu Mulaqqin rahimahullah berkata “al-qulla” secara bahasa bermakna kendi besar yang hanya bisa diangkat oleh beberapa
orang lelaki yang kuat”. (Al-Badru Al-Munir: 2/107). Tidak ada perbedaan antara air yang
lebih dari dua kullah dan kurang dari dua kullah, yang menjadi ukuran adalah
bau, warna dan rasanya. Ukuran satu kullah sendiri itu berapa?
Ini banyak perbedaan pendapat dikalangan fuqaha. Imam Ashonani rahimahullah berpendapat bahwa ukuran satu dan dua kullah ini adalah ukuran yang tidak
jelas. Bagaimana bisa dijadikan sebagai ukuran sesuatu yang tidak jelas.
PEMBAHASAN KEDELAPAN: ADAKAH PERBEDAAN
ANTARA AIR YANG BERGERAK DENGAN AIR YANG DIAM?
Tidak ada perbedaan antara air yang
bergerak dan air yang diam dari sisi
hukum apakah air itu menjadi suci atau tidak. Adapun membuang air kecil di air
tergenang ini yang ada larangannya. Dan akan datang pembahasannya pada
tempat-tempat yang dilarang membuang hajat.
PEMBAHASAN KESEMBILAN: ADAKAH PERBEDAAN ANTARA AIR MUSTA'MAL
DENGAN AIR SELAIN MUSTA'MAL?
Tidak ada perbedaan antara air
musta’mal dan selain musta’mal, ukurannya adalah bau, warna dan
rasanya. Air musta’mal adalah sisa air yang dipakai bersuci. Misalnya
ada seseorang yang menggunakan air dalam sebuah baskom atau timbah, dia
berwudhu dengannya, maka sisa air wudhu tersebut dinamakan dengan air
musta’mal.
Bersambung...
0 komentar:
Posting Komentar